Bagi Eka, membaca novel stensilan Enny Arrow bukan sesuatu yang memalukan. Sastrawan satu generasi dengannya hampir semuanya membaca novel Enny. 'Aku baca kayak gituan kan SMP-SMA.
Pramoedya Ananta Toer Foto: dok. Excel compiler. Pribadi Senin, 9 Mei 2016 “Lalu sekarang kamu mau apa?” Tidak cuma bertanya, orang tua Eka Kurniawan juga menunjukkan sepucuk surat dari sekolah Eka yang menyatakan bahwa putranya itu dikeluarkan karena membolos selama tiga bulan. Saat itu Eka masih kelas I sekolah menengah atas.
Ia merasa begitu bosan harus masuk kelas dan mendengarkan gurunya mengajar. Eka remaja, yang tengah tergila-gila pada serial petualangan Old Shatterhand karya Karl May dan Balada Si Roy, yang ditulis Gola Gong, merasa butuh petualangan. Tasikmalaya, tempat ia lahir dan dibesarkan, terlalu kecil dan membosankan. Ia jenuh setiap hari hanya pergi ke sekolah, lalu main bola atau main di Pantai Pangandaran. Tanpa memberi tahu orang tuanya, Eka melakukan perjalanan ke sejumlah kota dan tidak pulang ke rumah hingga tiga bulan. “Tidak jauh-jauh amat sih, dari Tasikmalaya jalan ke timur sampai Jogja, Purwokerto, Jogja, Malang, balik, terus muter ke utara sampai Jakarta, terus balik ke Tasik, ke Pangandaran,” kata Eka saat ditemui detikX. Buku-buku Enny Arrow biasanya dijual secara sembunyi-sembunyi di antara tumpukan buku teka-teki silang yang diedarkan pedagang asongan di bus.'
Eka tentu saja dicari-cari oleh orang tuanya yang cemas. Ketika akhirnya ia pulang, tidak ada nada marah dari suara orang tua Eka. Tapi ia tahu bapak-ibunya kecewa karena ia dikeluarkan dari sekolah. “Aku jawab, ‘Enggak ingin sekolah.’ Itu saja,” kata Eka kepada bapak-ibunya yang kebingungan.
Ia lantas tertawa saat menceritakan kenakalannya saat remaja itu. Eka juga pernah dihukum oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP).
Gara-garanya, ia ketahuan membaca novel stensilan Enny Arrow. Novel Fredy S.
Dan Enny Arrow Foto: Istimewa Eka memang suka membaca. Namun Pangandaran, kota tempat ia tinggal dan bersekolah, pada tahun 1980-an itu tidak memiliki toko buku dan juga tak ada perpustakaan. Eka kecil sampai remaja tidak pernah melihat kanon-kanon sastra Indonesia, seperti novel Y.B. Mangunwijaya, Ahmad Tohari, ataupun Umar Kayam. Buku yang bisa diperoleh Eka hanyalah novel-novel “picisan”, yang umumnya beredar di daerah. Kho Ping Hoo, Fredy S., Abdullah Harahap, Bastian Tito, dan buku stensilan Enny Arrow yang tentu saja menjadi bacaan terlarang di sekolah. Sebagai selingan, ia membaca Enid Blyton dan Karl May.
“Ya, baca Enny Arrow juga seperti anak remaja lainnya, ha-ha-ha. Kasihan sekali kamu kalau tidak membacanya, ha-ha-ha,” cerita suami penulis Ratih Kumala ini. Pria kelahiran 28 November 1975 ini bercerita, pada masa remajanya, buku-buku Enny Arrow biasanya dijual secara sembunyi-sembunyi di antara tumpukan buku teka-teki silang (TTS) yang diedarkan pedagang asongan di bus. Eka biasanya mendapatkan buku yang berisi cerita porno itu dari penjual langganannya. Harganya saat itu, tahun 1980-an, cukup mahal: Rp 500.
Sedangkan uang jajan yang dimiliki Eka sebagai murid SMP cuma Rp 100. “Tapi biasanya kami anak-anak SMP itu satu orang hanya punya satu buku yang beli sendiri. Habis itu gantian saja, diputer. Tuker-tukeran,” ujarnya. Untuk membacanya, Eka tidak pernah berani melakukannya di rumah, takut ketahuan orang tua.Ia membacanya di sekolah saat jam istirahat. “Pernah ketangkep juga sih, dibawa ke guru BP gara-gara itu, ha-ha-ha.”.
Bagi Eka, membaca novel stensilan Enny Arrow bukan sesuatu yang memalukan. Sastrawan satu generasi dengannya hampir semuanya membaca novel Enny. “Aku baca kayak gituan kan SMP-SMA. Aku membaca karena senang saja.
Saat itu kan tidak punya daya kritis,” ujarnya. (Kelak, ketika dewasa dan menjadi penulis terkenal, setengah berolok-olok satire Eka menulis tentang Enny dalam blognya dengan judul 'Membayangkan Enny Arrow sebagai Tonggak Kesusastraan Indonesia'.) Dikeluarkan dari SMA Negeri I Tasikmalaya, Eka lantas dikirim ayahnya ke pondok pesantren. Eka, yang tidak kerasan, memilih kabur tidak lama kemudian. Akhirnya ia menyelesaikan sekolahnya di SMA PGRI dan menjadi legenda sekolah itu karena mengukir sejarah sebagai murid yang pertama kali bisa diterima masuk perguruan tinggi negeri. Ia diterima Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Karena memutuskan bercita-cita menjadi penulis, Eka semakin serius membaca sastra.
Bagi Eka, membaca novel stensilan Enny Arrow bukan sesuatu yang memalukan. Sastrawan satu generasi dengannya hampir semuanya membaca novel Enny. 'Aku baca kayak gituan kan SMP-SMA.
Pramoedya Ananta Toer Foto: dok. Excel compiler. Pribadi Senin, 9 Mei 2016 “Lalu sekarang kamu mau apa?” Tidak cuma bertanya, orang tua Eka Kurniawan juga menunjukkan sepucuk surat dari sekolah Eka yang menyatakan bahwa putranya itu dikeluarkan karena membolos selama tiga bulan. Saat itu Eka masih kelas I sekolah menengah atas.
Ia merasa begitu bosan harus masuk kelas dan mendengarkan gurunya mengajar. Eka remaja, yang tengah tergila-gila pada serial petualangan Old Shatterhand karya Karl May dan Balada Si Roy, yang ditulis Gola Gong, merasa butuh petualangan. Tasikmalaya, tempat ia lahir dan dibesarkan, terlalu kecil dan membosankan. Ia jenuh setiap hari hanya pergi ke sekolah, lalu main bola atau main di Pantai Pangandaran. Tanpa memberi tahu orang tuanya, Eka melakukan perjalanan ke sejumlah kota dan tidak pulang ke rumah hingga tiga bulan. “Tidak jauh-jauh amat sih, dari Tasikmalaya jalan ke timur sampai Jogja, Purwokerto, Jogja, Malang, balik, terus muter ke utara sampai Jakarta, terus balik ke Tasik, ke Pangandaran,” kata Eka saat ditemui detikX. Buku-buku Enny Arrow biasanya dijual secara sembunyi-sembunyi di antara tumpukan buku teka-teki silang yang diedarkan pedagang asongan di bus.'
Eka tentu saja dicari-cari oleh orang tuanya yang cemas. Ketika akhirnya ia pulang, tidak ada nada marah dari suara orang tua Eka. Tapi ia tahu bapak-ibunya kecewa karena ia dikeluarkan dari sekolah. “Aku jawab, ‘Enggak ingin sekolah.’ Itu saja,” kata Eka kepada bapak-ibunya yang kebingungan.
Ia lantas tertawa saat menceritakan kenakalannya saat remaja itu. Eka juga pernah dihukum oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP).
Gara-garanya, ia ketahuan membaca novel stensilan Enny Arrow. Novel Fredy S.
Dan Enny Arrow Foto: Istimewa Eka memang suka membaca. Namun Pangandaran, kota tempat ia tinggal dan bersekolah, pada tahun 1980-an itu tidak memiliki toko buku dan juga tak ada perpustakaan. Eka kecil sampai remaja tidak pernah melihat kanon-kanon sastra Indonesia, seperti novel Y.B. Mangunwijaya, Ahmad Tohari, ataupun Umar Kayam. Buku yang bisa diperoleh Eka hanyalah novel-novel “picisan”, yang umumnya beredar di daerah. Kho Ping Hoo, Fredy S., Abdullah Harahap, Bastian Tito, dan buku stensilan Enny Arrow yang tentu saja menjadi bacaan terlarang di sekolah. Sebagai selingan, ia membaca Enid Blyton dan Karl May.
“Ya, baca Enny Arrow juga seperti anak remaja lainnya, ha-ha-ha. Kasihan sekali kamu kalau tidak membacanya, ha-ha-ha,” cerita suami penulis Ratih Kumala ini. Pria kelahiran 28 November 1975 ini bercerita, pada masa remajanya, buku-buku Enny Arrow biasanya dijual secara sembunyi-sembunyi di antara tumpukan buku teka-teki silang (TTS) yang diedarkan pedagang asongan di bus. Eka biasanya mendapatkan buku yang berisi cerita porno itu dari penjual langganannya. Harganya saat itu, tahun 1980-an, cukup mahal: Rp 500.
Sedangkan uang jajan yang dimiliki Eka sebagai murid SMP cuma Rp 100. “Tapi biasanya kami anak-anak SMP itu satu orang hanya punya satu buku yang beli sendiri. Habis itu gantian saja, diputer. Tuker-tukeran,” ujarnya. Untuk membacanya, Eka tidak pernah berani melakukannya di rumah, takut ketahuan orang tua.Ia membacanya di sekolah saat jam istirahat. “Pernah ketangkep juga sih, dibawa ke guru BP gara-gara itu, ha-ha-ha.”.
Bagi Eka, membaca novel stensilan Enny Arrow bukan sesuatu yang memalukan. Sastrawan satu generasi dengannya hampir semuanya membaca novel Enny. “Aku baca kayak gituan kan SMP-SMA. Aku membaca karena senang saja.
Saat itu kan tidak punya daya kritis,” ujarnya. (Kelak, ketika dewasa dan menjadi penulis terkenal, setengah berolok-olok satire Eka menulis tentang Enny dalam blognya dengan judul 'Membayangkan Enny Arrow sebagai Tonggak Kesusastraan Indonesia'.) Dikeluarkan dari SMA Negeri I Tasikmalaya, Eka lantas dikirim ayahnya ke pondok pesantren. Eka, yang tidak kerasan, memilih kabur tidak lama kemudian. Akhirnya ia menyelesaikan sekolahnya di SMA PGRI dan menjadi legenda sekolah itu karena mengukir sejarah sebagai murid yang pertama kali bisa diterima masuk perguruan tinggi negeri. Ia diterima Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Karena memutuskan bercita-cita menjadi penulis, Eka semakin serius membaca sastra.